Cewek montok membuat ku pasrah


Kumpulan Cerita Sex Indonesia Terbaru dan Unik. - Nama panjangnya adalah Lisnawati. Mba Lisna, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Iwan tak pernah tahu usia wanita itu yg sesungguhnya, tetapi pokoknya ia tak tampak terlalu tua, walau jelas bukan pula remaja. Wajahnya -jika memakai ukuran normal- tdklah terlalu cantik. 

Tdk pula terlalu jelek. Biasa-biasa saja Tetapi Mba Lisna memiliki mata yg sangat indah, bening dihiasi bulu mata lentik. Jg memiliki bibir yg -menurut Iwan- sangat menarik, karena selalu kelihatan basah.
Waktu itu Iwan duduk di bangku SMA, kelas dua A. 

Untuk usianya, waktu itu Iwan tergolong “terlambat” dalam soal pacaran. Ia tdk punya teman wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yg naksir, namanya Putri, gadis dari kelas 2 B.-cerita sex terbaru– Tetapi Iwan tdk tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Iwan, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tdk tertarik. 

Berenang di sungai lebih menarik bagi Iwan, katimbang jalan-jalan dgn Putri.
Tetapi Mba Lisna menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Iwan mengantar adik perempuannya, Nina, ke sanggar untuk latihan menari. Iwan sangat sayang kepada adik satu-satunya yg baru berusia 7 tahun itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). 

Dgn sepeda, diboncengnya Nina ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Lisna, sedang mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.
“Selamat sore Nina…,” ucap Mba Lisna menyapa Nina, lalu sekejap melirik Iwan.
Cerita dewasa terbaru, Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Iwan sambil melepas gandgn tangan adiknya.
“Mba Lisna, ini kakak saya…,” Nina menunjuk ke Iwan yg masih berdiri di pintu ruang latihan.
Mba Lisna mengangkat muka, dan tersenyum kepada Iwan. 

Agak canggung, Iwan membalas tersenyum dan berucap serak,
“Selamat sore, mbak…”.
Mba Lisna hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam Nina, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yg sedang bersiap belajar menari. Iwan masih berdiri, memandang tubuh Mba Lisna dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Lisna menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yg menawan. 

Astaga, pikir Iwan, wanita ternyata bisa menarik jg!
Untuk beberapa jenak, Iwan masih berdiri di depan pintu, menelan ludah berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa? Entahlah. Tetapi perjumpaan pertama dgn Mba Lisna berbekas keras di kalbunya. 

Sambil mengayuh sepedanya pulang, Iwan tiba-tiba memiliki pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara lain di kepalanya. Meremas….? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir Iwan gelisah. Berkali-kali Iwan merasa sadel sepedanya terasa lebih kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial! sergahnya dalam hati.

Ketika ayah memintanya menjemput Nina, dgn bersemangat Iwan mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tdk jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Lisna melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yg diikuti oleh belasan anak-anak kecil. 

Pandangan Iwan tak lekang dari gerakan-gerakan Mba Lisna, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yg indah!
Selama ini, bagi Iwan menari adalah kegiatan perempuan yg tak menarik. 

Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Lisna mengangkat tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya …., Iwan menelan ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Iwan membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. 

Tetapi, seperti ditarik magnit, muka Iwan sesekali kembali lagi memandang ke ruang latihan.
Dari ruang tari, Lisna jg bisa melihat keluar, walau perbedaan terang menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah tempat Iwan duduk. 

Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Lisna melirik dan mengernyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tdk pernah berlama-lama di sanggar tari. 

Apalagi yg laki-laki, entah itu kakak atau ayah atau paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yg menarik untuk pria. Makanya, tingkah Iwan bagi Lisna agak tdk biasa.
Ketika akhirnya latihan selesai, Iwan bangkit dan mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. 

Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah. Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Nina keluar dan menghampirinya.


Lisna, dgn sedikit peluh di lehernya, mengucap salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepas stagen, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Nina berlari ke arah penjemputnya, remaja yg betah berlama-lama di bawah pohon kamboja menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yg sebahu kini tergerai, Lisna berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi jg cukup keras untuk didengar Iwan.
“Kenapa tadi tdk tunggu di dalam saja, Dik…,” ujarnya.

Iwan cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang.
Lisna tersenyum melihat seringai remaja yg tampak kikuk itu. Iwan menelan ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik sekali. Rasanya, Iwan seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara di dalam kepalanya lagi. Dan Iwan pun cepat-cepat membungkuk berpamitan, lalu menggandeng tangan Nina menuju sepeda. 

Lisna kembali tersenyum memandang kedua kakak-beradik yg akur itu meninggalkan sanggarnya.
Sejak pertemuan itu, Iwan sering melamunkan Mba Lisna. Lebih gila lagi, saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Iwan merasakan darahnya berdesir membayangkan Mba Lisna. 

Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah.
Cepat-cepat ia menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dgn handuk dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tdk ada yg melihat tonjolan di bawah pinggangnya yg terbungkus handuk itu!

Malam hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Iwan kembali membayangkan Mba Lisna. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yg padat berisi, pinggangnya yg ramping, dan dadanya yg membusung walau tdk terlalu besar. Iwan jg terkenang lehernya yg agak basah oleh keringat. Jg bibirnya. Ya, bibirnya itu yg paling menawan. Selalu basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum, menampakkan sedikit gigi-giginya yg putih. Bagaimana rasanya menggigit bibir itu?

Iwan makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sdh agak larut, dan rumah sdh sepi. Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Iwan menelungkupkan tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya terjepit di antara tubuhnya dan kasur yg empuk. 

Tanpa sadar, Iwan menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur. Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Lisna. Terbayang ia mengulum bibir Mba Lisna yg basah. Terbayang dadanya yg ceking menempel di dada Mba Lisna yg kenyal. Gila! Iwan terlonjak ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya. Untung ia sigap, sehingga seprai tdk ikut basah.

Hanya saja, di pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yg lain!
Beberapa hari setelah perjumpaan pertamanya dgn Iwan, kembali Lisna terheran melihat remaja itu sdh ada setengah jam sebelum latihan usai. Setengah jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap Lisna dalam hati sambil terus menggerakkan badannya di depan para penari cilik. 

Berkali-kali Lisna melirik ke arah pohon kamboja, dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa gerangan remaja itu begitu betah menunggu adiknya. Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke dalam dgn seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat Lisna dalam hati. Tetapi, mungkin jg ia tertarik pada tarianku. Siapa tahu? Atau mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Lisna dalam hati. Ia tersenyum sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.

“Satu … dua…tiga …. empat, putar……,” Lisna memutar tubuh memberi contoh, diikuti oleh bidadari-bidadari kecil yg tertatih-tatih mencoba meniru sesempurna mungkin.
“Satu .. dua … tiga … empat, putar….,” suaranya lembut, tetapi tegas dan cukup nyaring.
Iwan menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara Mba Lisna sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yg berhubungan dgn wanita itu selalu bagus. 

Apa-apaan ini? sebuah suara menghardik di kepala Iwan, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya sebatang rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Iwan merenung, bertanya-tanya, apa gerangan yg terjadi dalam dirinya. Mengapa Mba Lisna jadi begitu menarik, padahal ia jauh lebih tua dariku? Mengapa Putri yg seusia denganya itu tdk semenarik Mba Lisna, padahal Putri jg cantik. Iwan menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya terangkat lagi, memandang lagi ke dalam ruang latihan.

Cuma kali ini ia tdk melihat Mba Lisna di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya, mencari-cari, kemana gerangan wanita itu. Iwan bahkan memiringkan tubuhnya, sampai hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yg masih terjangkau pandangan. Mba Lisna tdk ada, sementara murid-muridnya masih bergerak sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?
Hampir copot rasanya jantung Iwan, ketika tiba-tiba Mba Lisna muncul dari balik tembok rumah di sebelah ruang latihan. 

Rupanya, ada gang yg menghubungkan rumah itu dgn ruang latihan, yg tdk terlihat dari tempat Iwan duduk. Rupanya Mba Lisna meninggalkan murid-muridnya untuk masuk ke rumah itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan, tetapi tdk melalui gang, melainkan lewat pintu depan. 

Lewat di depan Iwan, melenggang santai dgn kainnya yg ketat membungkus tubuhnya yg indah.
“Hayo.., tunggu di dalam, Dik!” ucap Mba Lisna menghentikan langkah sebelum masuk.
Senyum yg memikat Iwan terhias di bibirnya. Iwan menelan ludah, tak bisa menyahut, dan cuma bisa meringis lagi.b Betul-betul seperti kera yg sedang kepedasan.
“Hayo …,” ajak Mba Lisna lagi, lembut tetapi tegas.

Iwan bangkit, dan dgn ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Lisna tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Iwan menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Lisna sdh berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Iwan mencari-cari bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri saja, menyender di sebuah tiang yg cukup besar.
Lisna melirik, melihat remaja itu berdiri kikuk. 

Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah begitu, kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja ia berdiri sampai pegal. Tersenyum Lisna mendengar kata hatinya yg terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal!
Selama 20 menit, Iwan berdiri saja melihat adiknya latihan menari. 

Nina terlihat senang melihat kakaknya sdh hadir. Berkali-kali Nina kelihatan ketinggalan langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Iwan mengernyitkan dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Nina agar tetap serius. Lisna tersenyum melihat tingkah keduanya.
Ketika akhirnya latihan selesai, Iwan bernafas lega. 

Bukan saja karena ia sdh pegal berdiri, tetapi jg karena sebenarnya ia agak tersiksa. Betapa tdk? Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Lisna, tetapi ia harus menyembunyikan perasaan itu. Betapa sulit!
Lisna berjalan mendekati Iwan sambil melepas stagen. 

Iwan berdiri kikuk ketika akhirnya Lisna berdiri di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yg ternyata tdk mengganggu Iwan.
“Suka menari?” tanya Lisna. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya. Senyumnya mengembang halus. Iwan menelan ludah lagi.
Iwan menggeleng kuat. Lisna tertawa kecil,

“Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah menunggu adikmu latihan.”
“Saya …., sebetulnya saya suka ..,” ucap Iwan tergagap.
“Oh, ya???” Lisna membelalakan matanya yg indah, senyumnya mengembang lagi. Iwan menelan ludah lagi.
“Seberapa suka, sebetulnya …,” tanya Lisna lagi, ringan.
“Mmmm … saya suka menonton saja.” jawab Iwan sekenanya.
“Menonton anak-anak kecil menari?” tanya Lisna. Wah! Iwan tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial!

Lisna tergelak melihat Iwan tertunduk malu. Kini ia tahu apa yg sesungguhnya ditonton laki-laki belia ini! Ia ke sini untuk menontonku, melihat tubuhku! Dan kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Lisna, menyenangkan penonton adalah tujuan utamanya menari, bukan?
“Siapa nama kamu?” tanya Lisna lembut sambil melepas ikat rambutnya. Iwan mengangkat muka, melihat kedua tangan Lisna terangkat, dan samar-sama kedua ketiaknya yg mulus terlihat dari lengan bajunya yg agak tersingsing.

“Iwan..,” terdengar jawaban pelan.
Lisna tersenyum lagi, sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu melihat apa yg ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Lisna! sebuah suara terdengar di kalbunya.
Siksaan bagi Iwan baru berhenti ketika Nina menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.

“Datang lagi, yaaa!” seru Lisna ketika Iwan sedang bersiap mengayuh.
Duh! Iwan jadi serba salah. Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah, sdhlah! sergahnya dalam hati dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan Lisna memandang kakak-beradik itu menghilang di balik tikungan. Senyum manis masih di bibirnya.

Demikianlah seterusnya, Iwan semakin terpikat oleh wanita yg pandai menari dan pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar, meminta kepada ayah untuk tdk usah menjemput Nina dgn alasan harus latihan bola kaki. Selama empat kali latihan, ia tdk mampir ke sanggar, dan tdk berjumpa Mba Lisna. Dan itu artinya, sdh sebulan ia tdk melihat tubuh molek itu melenggak-lenggok. Lama jg, ya?

Sampai suatu hari, ada pertunjukkan dari di balai kota, diselingi permainan band sebuah kelompok amatir yg cukup populer di kota kecil ini. Iwan datang bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton band. Acara tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Iwan baru tiba di atas pukul 8, saat band mulai naik panggung.

Di situlah Iwan berjumpa lagi dgn Mba Lisna. Saat band memainkan lagu ketiga, Iwan pergi ke belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sana lah terdapat toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu meliwati pintu yg menuju tempat pemain berganti pakaian, 

Iwan melihat Mba Lisna duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia menyelinap ke balik tembok yg agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat Mba Lisna, tetapi wanita itu tdk bisa melihatnya.
Lisna memakai jeans ketat dan sebuah kaos agak longgar berwarna putih. 

Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan lehernya yg jenjang dan agak basah oleh keringat. Ia tampak letih, dan sedang menikmati sebotol minuman dingin. Bibirnya menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak melamun. 

Bagi Iwan, Mba Lisna tampak menawan malam itu. Ia kemudian melihat wanita itu bangkit menuju ke sebuah kamar di belakang panggung. Iwan mengikuti gerak-geriknya dgn seksama, aman dalam lindungan bayang-bayang yg gelap. Tak lama kemudian, tampak Mba Lisna membuka sebuah pintu, dan di dalam terlihat terang berderang tetapi sepi. Berjingkat, Iwan berpindah tempat sehingga bisa memandang lebih bebas ke dalam ruangan itu.

Lisna menutup pintu ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong, sehingga masih tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dgn jantung berdegup kencang, Iwan melihat ke kiri dan kanan. Tdk ada siapa-siapa. Semua orang berada di depan panggung asyik menonton band. 

Pelan-pelan ia melangkah mendekati ruang yg ternyata adalah ruang ganti pakaian bagi para artis.
Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yg tersisa, ia bisa melihat ke dalam. Iwan menelan ludah, dan menahan kagetnya. 

Di dalam, Mba Lisna tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi Iwan. Tubuhnya yg putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia berputar menghadap sebuah cermin yg pantulannya terlihat dari tempat Iwan berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yg indah, terbungkus beha yg tampak terlalu kecil. Lutut Iwan terasa bergetar.

Kemudian tampak Mba Lisna melepas celana jeansnya. Iwan merasa kakinya terpaku di tanah. Dgn kuatir ia melihat ke sekeliling, takut kepergok. Tetapi suasana di sekitar ruang ganti itu tetap sepi. Maka ia tetap mengintip ke dalam. Jeans sdh dibuka dan tergeletak di lantai. Mba Lisna hanya bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan main. Putih mulus, padat berisi. Iwan berkali-kali menelan ludah. 

Pemandangan indah itu berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini Mba Lisna sdh berganti rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi Iwan, rasanya lama sekali. Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali ke depan panggung.

Lisna mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu dan melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu, dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip. Tetapi di luar sepi, tdk ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku saja, pikir Lisna.

Sementara itu, di depan panggung Iwan gelisah mengenang pengalamannya. Lagu-lagu yg dibawakan band di depannya terasa hambar. Teman-temannya terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang bergairah. Dgn alasan mengantuk, ia pulang lebih dulu dari teman-temannya yg keheranan.
“Ada apa dgnmu, Iwan?” tanya sobatnya, Kokok.

Ia tdk menjawab, dan hanya menggumam sambil melangkah meninggalkan arena pertunjukkan.
“Dasar kutu buku …,” gerutu Iwan, temannya yg lain. Iwan tak peduli, dan terus melangkah menembus malam.

Dan malam itu, Iwan menikmati hayalnya di atas ranjang, meremas-remas kelaki-lakiannya yg menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Lisna. Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat memenuhi telapak tangannya. Dgn tissue yg sdh disiapkannya, ia melap tangannnya, 

lalu tidur nyenyak sambil berharap bertemu Mba Lisna di alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia sebetulnya sdh sangat mengantuk malam itu.

Subscribe to receive free email updates: